Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mengganti sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dengan pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memicu berbagai pendapat, terutama di daerah Bali dan NTB. Kebijakan ini menciptakan reaksi beragam, dengan beberapa pihak mendukungnya sebagai solusi penghematan anggaran, sementara lainnya menentang perubahan tersebut karena dampaknya terhadap demokrasi.
Penolakan terhadap Wacana Pilkada Oleh DPRD
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan, menegaskan penolakannya terhadap ide penghapusan pilkada langsung. Menurutnya, walaupun ada anggapan pemilu terlalu mahal, sebenarnya ada banyak cara untuk mengurangi biaya, seperti dengan mengurangi jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan meningkatkan jumlah pemilih per TPS. Ia juga mengusulkan agar sosialisasi kampanye dipindahkan ke media sosial untuk mengurangi anggaran.
Lidartawan lebih lanjut menjelaskan bahwa pengeluaran besar dalam pilkada bukanlah akibat dari penyelenggaraan, melainkan karena adanya elemen-elemen lain yang membebani biaya. Ia juga menegaskan bahwa sebagai individu, ia lebih memilih agar hak konstitusional warga negara tetap dijaga melalui pemilihan langsung, di mana rakyat dapat menentukan calon pemimpin mereka.
Tanggapan Para Politisi Terhadap Sistem Baru
Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelora, menyebut bahwa Presiden Prabowo berencana melakukan penataan ulang sistem politik Indonesia, termasuk masalah biaya pemilu yang sangat tinggi. Menurut Fahri, selama 25 tahun pasca-Reformasi, Indonesia telah kehilangan arah, dengan biaya pemilu yang membebani rakyat dan menyebabkan ketimpangan politik. Fahri berpendapat bahwa untuk mengatasi masalah ini, sistem politik di Indonesia harus disesuaikan agar lebih efisien dan adil.
Analisis Tentang Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Wacana penghapusan pilkada langsung sebenarnya bukan hal baru. Pada 2014, ide serupa sempat diajukan namun dibatalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Perppu. Konsep pemilihan kepala daerah melalui DPRD lebih mirip dengan sistem yang diterapkan pada era Orde Baru, di mana MPR memiliki wewenang untuk memilih presiden. Dalam sistem ini, baik presiden maupun kepala daerah dipilih oleh lembaga legislatif, bukan oleh rakyat secara langsung.
Namun, jika dibandingkan dengan sistem presidensial yang diterapkan di negara-negara seperti Amerika Serikat, di mana presiden dan gubernur dipilih langsung oleh rakyat, sistem yang diusulkan Prabowo ini berpotensi menciptakan ketidaksesuaian antara pemerintah pusat dan daerah. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa mengurangi kontrol rakyat terhadap calon pemimpin mereka.
Dampak Potensial Terhadap Demokrasi Indonesia
Salah satu alasan utama wacana penghapusan pilkada langsung adalah tingginya biaya politik yang terkait dengan pemilu. Sejak Reformasi, Indonesia telah menghadapi masalah dengan budaya politik klientelisme yang menyebabkan biaya politik semakin mahal. Namun, jika pemilu langsung dihapuskan, hal itu hanya akan memperburuk masalah politik yang lebih mendalam, seperti lemahnya kaderisasi politik dan berkurangnya partisipasi rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Beberapa ahli mengungkapkan bahwa meskipun pemilu memiliki kelemahan, menghapusnya bukanlah solusi yang tepat. Sebaliknya, perbaikan sistem politik Indonesia harus dilakukan dengan cara yang lebih konstruktif dan berdasarkan pada semangat untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Wacana penghapusan pilkada langsung yang diajukan oleh Presiden Prabowo memang memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai upaya untuk mengurangi biaya politik yang tinggi. Namun, di sisi lain, banyak yang khawatir bahwa perubahan ini dapat mengancam kualitas demokrasi dan mengurangi kontrol rakyat atas pemimpin daerah mereka. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap kebijakan yang berkaitan dengan sistem politik Indonesia.
Dalam hal ini, diperlukan perdebatan yang mendalam tentang bagaimana cara terbaik untuk memperbaiki sistem politik di Indonesia, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang telah berkembang selama ini.